Kolom, KarebaDIA – Tulisan ini pada dasarnya diangkat dari satu kumpulan tulisan dari makalah-makalah dari Jean baudrillard yang sebelumnya sudah diterbitkan tahun 1978 dengan judul “The Agony of power” Dominasi, Hegemoni dan teror.
Bagi Baudrillard, dominasi dan hegemoni seringkali menjadi dasar pijakan melihat untuk melihat sekaligus merespon kekuasaan yang cendrung despotik. Baudrillard melihat sisi gelap dari kekuasaan karena adanya dominasi dari kelompok tertentu sebagaimana yang di tulis oleh Jefrey Winters tentang “Oligarkhi.” Sebagai seorang sosiolog Baudrillard melihat dominasi sebagai kecendrungan yang akut pada kekuasaan.
Dominasi bukan hanya sebagai basis dan pengaruh politik belaka tetapi lebih dari itu Baudrillard memandang the agony of power adalah sebagai instrument destruktif yang sangat berbahaya bagi keberlangsungan suatu sistem dan tata kelolah bernegara.
Yah, mungkin dari pandangan Sigmund Freud (1936) bisa dibilang sebagai sesuatu yang mencemaskan (worry)—yaitu suatu kecemasan neurosis dan psikosis, sebuah gejala yang jadang diderita oleh orang lain akan bahaya dan ketakutan yang berlebihan.
Ketakutan bisa saja berpengaruh seperti takut kalah dalam perang, takut jatuh dalam bisnis, takut gagal dalam percintaan, dan ketakutan-ketakutan lainnya. Gejala neurosis ini terlihat pada perilaku post power syndrome—dulu terhormat saat berkuasa, setelah tak berkuasa, justru tampak seperti rakyat kebanyakan dan jelata.
Ketakutan atau kecemasan akan kehilangan kekuasaan atau pengaruh menjadi asbab utama munculnya perilaku psikosis terhadap seseorang. Pertanyaannya kenapa seseorang atau yang terlanjur berkuasa “merasa takut dan was-was” ketika tak lagi berkuasa? dan berkecendrungan mempertahankan kekuasaannya dengan berbagai cara.
Fenomena ini coba kita rekonstruksi dalam proses politik pilkada serentak tahun 2024 ini, terkhusus dalam pemilihan gubernur Propinsi Sulawesi Selatan. Di mana ada dua pasangan calon yang bertarung untuk mendapatkan kepercayaan publik untuk memimpin sulsel 5 tahun mendatang.
Menariknya karena kedua pasangan calon tersebut masing-masing petahana, bahkan pernah menjadi kawan dalam kontekstasi kini menjadi lawan. Politik adalah pilihan untuk berkuasa.
Pasangan Andi Sudirman Sulaiman- Fatmawati Rusdi masse yang dianggap sebagai kekuatan politik yang didukung oleh partai-partai besar bahkan partai pemenang pilpres, yang oleh sebagian orang dianggap sebagai pasangan yang memiliki kost politik yang tak berseri (uang politik) karena di back up oleh oligarkhis dan jejaring kekuasaan yang teramat kuat. Dalam pandangan Jean Baudrillard ini disebut sebagai dominasi dan hegemoni.
Tentu sangat berbeda dengan pasangan Danny Pomanto (DP) -Azhar Arsyad yang di dukung oleh parati PDIP, PPP, PKB yang pada dasarnya juga tidak bisa dianggap remeh, sebab figur DP sebagai walikota dua periode kota Makassar, yang memiliki karya dan prestasi yang luar biasa dengan penghargaan nasional maupun internasional justru menjadi magnet tersendiri bagi pasangan yang mengusung tagline DIA ini. Tokoh populis yang dikenal sebagai anak lorongnya Makassar menjadi entry point bagi pasangan ini untuk menarik simpatik publik.
Ini bisa dibilang “DIA sedang bertarung melawan dominasi dan hegemoni”— dalam tradisi social movement (gerakan sosial), hegemoni selalu dihadapkan pada kelas proletariat (kelas anti kemapanan) terhadap dominasi kekuasaan. Keberpihakan kaum buruh, kaum marginal, kaum kiri yang kritis terdidik selalu mengambil posisi pada kelompok politik yang lemah dan selalu memilih berhadapan dengan kekuasaan yang hegemonik.
Pilgub sulsel dengan kondisi head to head—akan memberikan edukasi politik, apakah publik tertarik dengan dominasi dan hegemoniak, atau memilih pemimpin yang reputasi karena prestasi? Seba kualitas pemimpin sangat ditentukan kualitas pemilihnya.
—Banjir uang yang mengalir ke politik saat ini, adalah pencemaran demokrasi—(Theodore H. White)
Diperkenankan mengutip sebagian atau keseluruhan informasi dari portal KarebaDIA sepanjang untuk kepentingan publikasi dan sosialisasi agenda politik Danny Pomanto - Azhar Arsyad (DiA).