Editorial

Sengketa di MK: Tak Selalu Soal Perbedaan Hasil Suara, Bisa Juga Karena 5 Hal Ini

Tim Redaksi
12
×

Sengketa di MK: Tak Selalu Soal Perbedaan Hasil Suara, Bisa Juga Karena 5 Hal Ini

Share this article
Sidang sengketa di MK

Editorial, KarebaDIASengketa Pilkada di Mahkamah Konstitusi (MK) tidak selalu disebabkan oleh perbedaan hasil perolehan suara pasangan calon (Paslon), bisa juga karena sebab lain.

Beberapa jenis kasus juga bisa diajukan ke MK meskipun tidak berkaitan langsung dengan hasil suara.

KarebaDIA mencoba menelusuri beberapa kasus sengketa Pilkada yang pernah disidangkan di Mahkamah Konstitusi (MK) meskipun tidak terkait langsung dengan perbedaan hasil suara pasangan calon.

Berikut adalah beberapa diantaranya:

(1) Kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM)

Terjadinya kecurangan yang dilakukan secara terorganisir (terstruktur), menyeluruh (sistematis), dan berdampak luas (masif) sehingga memengaruhi hasil pemilihan.

Yang dapat termasuk dalam kecurangan TSM adalah misalnya pelibatan aparat negara dalam kampanye, politik uang secara masif, atau penyalahgunaan wewenang pejabat daerah untuk memengaruhi pemilih.

Kasus yang pernah disidangkan MK terkait pelanggaran TSM adalah sengketa Pilkada Kabupaten Tolikara 2017.

Sengketa ini terkait kecurangan Terstruktur, Sistematis, dan Masif (TSM), termasuk dugaan penggelembungan suara, manipulasi dokumen pemilih, dan keterlibatan aparat negara.

Putusan MK adalah memerintahkan dilakukan Pemungutan Suara Ulang (PSU) karena ditemukan bukti kuat bahwa pelanggaran memengaruhi hasil Pilkada.

(2) Persyaratan Calon

Sengketa terkait persyaratan calon yang dianggap tidak memenuhi ketentuan, seperti status kewarganegaraan, ijazah palsu, atau permasalahan administratif lainnya.

Contoh kasus jika ada pihak yang menggugat sahnya pencalonan karena dugaan dokumen palsu atau pelanggaran syarat undang-undang.

Kasus yang pernah disidangkan MK terkait persyaratan calon adalah Pilkada Kabupaten Sabu Raijua 2020.

Dimana salah satu calon bupati, Orient Riwu Kore, diduga memiliki kewarganegaraan ganda (Indonesia dan Amerika Serikat), sehingga tidak memenuhi syarat sebagai calon.

MK akhirnya membatalkan kemenangan calon tersebut dan memerintahkan Pilkada ulang tanpa melibatkan pasangan calon yang terbukti tidak memenuhi syarat.

Kasus lainnya adalah sengketa Pilkada Kabupaten Yalimo 2020 dimana Paslon pemenang dinyatakan tidak memenuhi syarat karena persoalan ijazah yang tidak sah.

MK akhirnya membatalkan hasil Pilkada dan memerintahkan PSU, dengan pasangan calon tersebut dilarang ikut kembali dalam pemilihan ulang.

(3) Pelanggaran Proses Pemilu

Keberatan terhadap proses tahapan Pilkada yang dianggap melanggar aturan, misalnya manipulasi dalam penetapan Daftar Pemilih Tetap (DPT) atau penyalahgunaan dana kampanye.

Contoh kasusnya adalah gugatan terhadap penetapan DPT yang dianggap tidak akurat atau diskriminatif.

(4) Keberpihakan Penyelenggara Pemilu

Tuduhan bahwa Komisi Pemilihan Umum (KPU) atau Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak netral dalam menjalankan tugasnya.

Contoh kasus adanya dugaan bahwa penyelenggara pemilu sengaja memenangkan salah satu paslon dengan cara melanggar hukum.

Salah satu kasus yang pernah disidangkan MK terkait keberpihakan penyelenggara adalah pada sengketa Pilkada Kabupaten Intan Jaya 2017.

Gugatan diajukan karena penyelenggara Pilkada diduga tidak netral dan ada manipulasi hasil pemungutan suara di beberapa distrik. Putusan MK adalah memerintahkan PSU di sejumlah distrik yang terbukti terjadi pelanggaran serius.

Kasus lainnya adalah sengketa Pilkada Kota Surabaya 2010 dimana ada dugaan keberpihakan penyelenggara pemilu dan dugaan pelanggaran administrasi saat pencalonan salah satu paslon.

Hanya saja pada kasus ini MK menolak gugatan karena tidak cukup bukti untuk mendukung klaim kecurangan TSM.

(5) Pelanggaran Etika dan Netralitas Aparat Negara

Terjadinya pelanggaran etika oleh pejabat publik atau aparat negara yang memihak kepada salah satu pasangan calon.

Contoh kasus misalnya ada pelibatan ASN, TNI, atau Polri dalam mendukung kampanye secara langsung atau tidak langsung.

Mahkamah Konstitusi dapat memutuskan untuk membatalkan hasil Pilkada atau memerintahkan pemungutan suara ulang (PSU) apabila terbukti bahwa pelanggaran yang terjadi secara signifikan memengaruhi hasil pemilihan.

Namun, MK hanya menangani sengketa yang memenuhi syarat formil dan materil sesuai dengan undang-undang.

***

Kasus-kasus tersebut di atas menunjukkan bahwa MK tidak hanya menangani sengketa terkait hasil suara, tetapi juga masalah persyaratan calon, kecurangan TSM, hingga keberpihakan penyelenggara. (*)

Tim Redaksi

Diperkenankan mengutip sebagian atau keseluruhan informasi dari portal KarebaDIA sepanjang untuk kepentingan publikasi dan sosialisasi agenda politik Danny Pomanto - Azhar Arsyad (DiA).