Editorial

Memahami Politik Survei vs Survei Politik dalam Dinamika Pilkada

Tim Redaksi
77
×

Memahami Politik Survei vs Survei Politik dalam Dinamika Pilkada

Share this article
Survei Politik
Ilustrasi Survei Politik (Foto: Tempo.co)

Editorial, KarebaDIA – Dalam dunia politik modern, survei telah menjadi salah satu alat penting untuk mengukur opini publik, memahami preferensi pemilih, serta merumuskan strategi kampanye yang lebih efektif.

Namun, seringkali terjadi kebingungan antara istilah “politik survei” dan “survei politik”.

Meskipun keduanya sama-sama menggunakan survei sebagai metode pengumpulan data, terdapat perbedaan mendasar dalam tujuan dan pendekatannya.

Apa saja itu? Nah, tim redaksi KarebaDIA mencoba mengulasnya untuk Anda berikut ini.

Politik Survei sebagai Alat Pengendalian dan Pengaruh

Politik survei adalah istilah yang merujuk pada upaya pihak-pihak tertentu, khususnya elit politik, untuk menggunakan survei sebagai alat pengendalian atau bahkan manipulasi opini publik.

Dalam konteks ini, survei tidak lagi bersifat netral atau obyektif, melainkan digunakan untuk menciptakan persepsi yang menguntungkan pihak tertentu.

Hasil survei dapat disesuaikan atau dikelola sedemikian rupa sehingga mencerminkan hasil yang diinginkan oleh kelompok tertentu, bukan realitas yang ada di lapangan.

Politik survei seringkali dilakukan dengan tujuan untuk:

1. Menciptakan Opini Dominan

Dalam banyak kasus, politik survei bertujuan untuk membentuk narasi bahwa satu calon atau partai memiliki dukungan yang jauh lebih kuat dibandingkan realitas di lapangan.

Dengan cara ini, pemilih cenderung “terbawa arus” dan mengikuti opini mayoritas yang diciptakan oleh survei tersebut.

2. Menggiring Preferensi Pemilih

Survei digunakan untuk memengaruhi preferensi pemilih, dengan asumsi bahwa orang cenderung mendukung calon yang dianggap lebih populer atau memiliki peluang lebih besar untuk menang.

3. Legitimasi Keputusan

Hasil survei yang telah dimanipulasi dapat digunakan untuk melegitimasi keputusan politik, seperti dalam menentukan koalisi atau dukungan terhadap kebijakan tertentu.

Namun, politik survei juga memiliki dampak negatif, terutama terkait dengan hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi yang melakukan survei.

Ketika publik menyadari bahwa hasil survei telah direkayasa, kredibilitas lembaga survei dan proses demokrasi secara keseluruhan dapat terancam.

Survei Politik sebagai Instrumen Ilmiah dan Obyektif

Berbeda dengan politik survei, survei politik adalah proses ilmiah yang dilakukan oleh lembaga survei untuk mengumpulkan data secara obyektif mengenai preferensi, pandangan, dan sikap masyarakat terhadap isu-isu politik.

Survei politik dilakukan dengan metode yang transparan, melibatkan pengumpulan data dari sampel yang representatif, serta menggunakan teknik analisis statistik yang ketat untuk memastikan validitas dan reliabilitas hasil.

Tujuan utama dari survei politik adalah:

1. Mengukur Opini Publik Secara Akurat

Survei politik bertujuan untuk memahami pandangan masyarakat terhadap isu-isu tertentu, seperti kandidat dalam pemilu, kebijakan publik, atau partai politik.

2. Memetakan Preferensi Pemilih

Dengan mengetahui preferensi pemilih, partai politik dan kandidat dapat merumuskan strategi yang lebih efektif untuk mendekati kelompok pemilih tertentu.

3. Menyediakan Informasi untuk Pengambilan Keputusan

Hasil survei politik sering digunakan oleh kandidat atau partai politik sebagai panduan dalam menentukan langkah-langkah strategis selama kampanye, seperti menyusun pesan politik yang tepat atau menentukan wilayah prioritas.

Lembaga survei yang kredibel selalu menjaga integritas metodologis dalam survei politik yang mereka lakukan. Hal ini mencakup proses pemilihan sampel yang representatif, pengumpulan data yang valid, serta pelaporan hasil yang transparan.

Survei politik yang dilakukan dengan baik dapat memberikan gambaran yang akurat mengenai dinamika politik dan membantu pemilih serta kandidat dalam membuat keputusan yang lebih informasi.

Survei Politik Tak Selamanya Akurat

Terdapat beberapa survei dari berbagai lembaga yang terkadang hasilnya berbeda dengan hasil Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada), termasuk dari Indikator Politik Indonesia. Salah satu contohnya adalah Pilkada DKI Jakarta 2017.

Pada Pilkada DKI Jakarta 2017, beberapa survei Indikator Politik Indonesia awalnya menunjukkan bahwa pasangan petahana Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan Djarot Saiful Hidayat memiliki elektabilitas yang lebih tinggi dibandingkan pasangan Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.

Namun, hasil akhir pilkada menunjukkan kemenangan pasangan Anies-Sandi di putaran kedua dengan perolehan suara yang signifikan.

Perbedaan hasil antara survei dan hasil akhir pemilihan bisa terjadi karena berbagai faktor, termasuk dinamika politik yang berubah cepat, kampanye yang lebih efektif di hari-hari terakhir, serta pergeseran preferensi pemilih yang tidak terekam dalam survei sebelum hari pemungutan suara.

Selain Pilkada DKI Jakarta 2017, terdapat beberapa kasus Pilkada lainnya di mana hasil survei Indikator Politik Indonesia atau lembaga survei lainnya berbeda dengan hasil pemilihan yang sebenarnya. Beberapa contohnya adalah:

1. Pilkada Jawa Tengah 2018

Pada Pilkada ini, survei awal dari beberapa lembaga, termasuk Indikator, sempat menunjukkan bahwa Sudirman Said memiliki peluang yang cukup bersaing melawan Ganjar Pranowo.

Namun, hasil pemilihan menunjukkan kemenangan besar Ganjar Pranowo dengan perolehan suara sekitar 58%, sementara Sudirman Said hanya memperoleh sekitar 42%. Perbedaan ini menunjukkan bahwa prediksi survei tidak selalu sesuai dengan hasil akhir pemilihan.

2. Pilkada Sulawesi Selatan 2018

Di Pilkada Sulawesi Selatan, Nurdin Abdullah sempat tertinggal di beberapa survei, dengan rivalnya, Ichsan Yasin Limpo, diprediksi memiliki elektabilitas lebih tinggi.

Namun, hasil Pilkada menunjukkan Nurdin Abdullah sebagai pemenang dengan selisih suara yang signifikan. Ini menjadi contoh lain di mana hasil survei tidak sejalan dengan hasil pilkada.

3. Pilkada Jawa Barat 2018

Sebelum Pilkada Jawa Barat, Ridwan Kamil (Emil) dan Deddy Mizwar adalah dua kandidat yang diprediksi bersaing ketat, dengan Ridwan Kamil unggul tipis di beberapa survei.

Namun, hasil Pilkada menunjukkan kemenangan yang lebih besar untuk Ridwan Kamil, dengan sekitar 33% suara, mengungguli Deddy Mizwar yang hanya meraih sekitar 26%.

4. Pilkada Sumatera Utara 2018

Survei sebelum Pilkada sempat menunjukkan persaingan ketat antara pasangan Edy Rahmayadi-Musa Rajekshah dan pasangan Djarot Saiful Hidayat-Sihar Sitorus. Djarot, yang merupakan mantan Gubernur DKI Jakarta, dianggap punya peluang kuat.

Namun, hasil akhir Pilkada memperlihatkan kemenangan Edy Rahmayadi dengan margin yang cukup besar, mengejutkan beberapa pihak yang memperkirakan Djarot akan lebih bersaing.

5. Pilkada Kalimantan Timur 2018

Pada Pilkada ini, pasangan Rusmadi Wongso-Safaruddin awalnya diunggulkan di beberapa survei untuk menang. Namun, hasil akhir Pilkada dimenangkan oleh pasangan Isran Noor-Hadi Mulyadi.

Perbedaan antara hasil survei dan hasil pemilihan disebabkan oleh perubahan opini pemilih di masa akhir serta strategi kampanye yang lebih efektif dari pihak pemenang.

6. Pilkada Lampung 2018

Beberapa survei menunjukkan bahwa pasangan Herman HN-Sutono diprediksi unggul dalam Pilkada Lampung.

Namun, hasil akhir Pilkada dimenangkan oleh Arinal Djunaidi yang semula tidak diunggulkan di beberapa survei.

Arinal berhasil memenangkan Pilkada dengan strategi kampanye dan jaringan politik yang kuat di akhir masa kampanye.

7. Pilkada Kalimantan Barat 2018

Survei awal menunjukkan keunggulan pasangan Sutarmidji-Ria Norsan, tetapi jarak dengan pesaingnya, Karolin Margret Natasa, diperkirakan lebih tipis. Beberapa lembaga survei memperkirakan bahwa persaingan akan berlangsung ketat.

Namun, hasil akhir menunjukkan bahwa Sutarmidji-Ria menang dengan margin yang lebih besar dari yang diperkirakan sebelumnya. Dinamika politik lokal dan faktor emosional pemilih tampaknya berperan dalam hasil yang berbeda.

8. Pilkada Maluku Utara 2018

Dalam Pilkada Maluku Utara, beberapa survei awal menunjukkan keunggulan Abdul Gani Kasuba.

Namun, dalam hasil akhir, Abdul Gani Kasuba hanya unggul tipis dari rivalnya, Muhammad Kasuba, setelah beberapa kali terjadi sengketa di Mahkamah Konstitusi (MK).

Hasil ini berbeda dari prediksi survei yang memperkirakan margin kemenangan yang lebih besar.

9. Pilkada Sumatera Selatan 2018

Sebelum Pilkada, pasangan Dodi Reza Alex Noerdin sempat diunggulkan dalam survei, terutama karena ia adalah putra dari Alex Noerdin, gubernur petahana.

Beberapa survei memperkirakan Dodi akan memenangkan pilkada. Namun, hasil Pilkada justru dimenangkan oleh pasangan Herman Deru-Mawardi Yahya, yang tidak diunggulkan untuk menang secara signifikan dalam survei awal.

10. Pilkada Bengkulu 2020

Pasangan Helmi Hasan-Muslihan DS diunggulkan dalam beberapa survei karena popularitas Helmi Hasan sebagai wali kota Bengkulu saat itu.

Namun, hasil Pilkada menunjukkan kemenangan pasangan Rohidin Mersyah-Rosjonsyah.

Hasil ini berbeda dari beberapa prediksi survei yang memperkirakan persaingan lebih ketat atau bahkan kemenangan Helmi Hasan.

***

Kasus-kasus di atas sesungguhnya menegaskan bahwa survei hanyalah potret sementara dari preferensi pemilih, sekaligus menjadi bukti bahwa meskipun survei memberikan gambaran awal tentang preferensi pemilih, tetapi kenyataannya tidak selalu akurat dalam memprediksi hasil akhir.

Ada banyak faktor yang dapat menjadi trigger perubahan hasil akhir kontestasi yang berbeda jauh dengan hasil survei sebelumnya, seperti strategi kampanye di hari-hari terakhir, pergerakan massa, atau isu-isu lokal yang muncul secara tiba-tiba dapat mengubah hasil yang diprediksi.

Selain itu, perubahan tren pemilih di masa akhir kampanye, mobilisasi suara, dan situasi politik yang dinamis sering kali menyebabkan hasil survei berbeda dengan hasil akhir di Pilkada.

Perbedaan model dan metodologis juga kerap memicu hasil survei yang berbeda. Karena itu, hadirnya lembaga survei lain sebagai pembanding juga bisa menjadi strategi ciamik untuk mengungkap fakta sebenarnya.

Terkadang beberapa lembaga survei justru memberi hasil yang sangat berbeda di satu daerah yang sama. Dengan begitu, maka opini publik pun dapat berubah dengan sendirinya. (*)

Tim Redaksi

Diperkenankan mengutip sebagian atau keseluruhan informasi dari portal KarebaDIA sepanjang untuk kepentingan publikasi dan sosialisasi agenda politik Danny Pomanto - Azhar Arsyad (DiA).