Maraknya money politic adalah tantangan bersama. Lantaran kian meluasnya, itulah sebabnya tidak ada yang akan berubah secara mendasar sampai kita memecahkan masalah uang dalam politik.
Editorial, KarebaDIA – Demikian pendapat Arianna Huffington, jurnalis dan pengusaha media Amerika keturunan Yunani terkait maraknya money politic dalam praktik demokrasi bangsa.
Relevan dengan itu, pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah di Sulawesi Selaan ternoda oleh sejumlah berita ditemukannya fakta bagi-bagi barang, sembako atau uang menjelang hari H.
Pekan ini, beberapa hari jelang pencoblosan viral di media sosial ribuan amplop berisi uang ditemukan di Luwu Timur.
Di Bantaeng, seorang Lurah diduga terlibat dalam bagi-bagi uang, di Bone, berkarung-karung beras disebut disiapkan jelang pelaksanaan Pemilukkada 2024.
Mengapa praktik ’money politics’ semakin marak? Faktor apa saja berpengaruh di dalamnya? Yang pasti, ini berkaitan dengan budaya politik, sistem pemilu, hingga perilaku masyarakat.
Arianna Huffington jurnalis dan pengusaha media Amerika menyebut satu-satunya alat yang kita miliki untuk memperbaiki masalah negara ini adalah proses demokrasi yang sehat dan itu pun sudah rusak.
”Itulah sebabnya tidak ada yang akan berubah secara mendasar sampai kita memecahkan masalah uang dalam politik,” kata Arianna.
Mengapa kian marak dan mengkhawatirkan?
Mengapa money politic seperti bola sajlu yang terus menggulung harapan perubahan baik kita?
Seperti apa penggambarannya dan mengapa begitu marak di daerah kita yang selalu bermanis mulut dengan siri na pacce?
Pertama, budaya politik yang tidak sehat alias ’garring’.
Money politics sering dianggap normal dalam praktik politik, terutama di daerah yang memiliki tradisi patronase kuat. Partai-partai begitu mudah dibeli dan disandera karena kepentingan pihak tertentu. Dibeli karena mereka diberi uang untuk memastikan kepada siapa partai berpihak.
Disandera dan sakit alias ’garring’, karena bisa saja pengurus partai terlibat kasus atau kejahatan lalu harus pasrah dalam tekanan untuk memilih calon tertentu.
Di sisi lain, kandidat seperti calon legislatif, atau calon kepala daerah sering kali menggunakan uang untuk membeli dukungan demi mendapatkan kekuasaan.
Mengapa itu terjadi dan tak ada perlawanan sosial, ini karena lemahnya pemahaman masyarakat tentang demokrasi yang seharusnya berbasis visi, misi, dan program kandidat layaknya sebuah proses demokrasi dan kampanye gagasan.
”Untuk apa kampanye tentang visi misi kalau pada akhirnya uang berbicara.,” Kira-kira begitu ungkapan calon pemenang.
Yang kedua, ada Kesenjangan Sosial dan Ekonomi.
Sejumlah daerah miskin di Sulawesi Selatan warganya harus takluk dalam iming-iming.
Warga berpikir, visi misi atau program yang baik yang dijanjikan calon belum tentu memberi manfaat langsung untuk dia.
“Cash! Cash! cash!” itu yang utama dan mendesak.
Wajar jika di daerah dengan tingkat kemiskinan tinggi, masyarakat rentan menerima imbalan materi sebagai kompensasi langsung. Wajar juga jika ada calon yang visi misinya sangat baik justru nyunsep perolehan suaranya.
Jelas sekali, bahwa ketergantungan ekonomi pada calon yang “berbagi” dalam bentuk uang atau barang telah menciptakan siklus money politics yang terus menerus.
Ketiga, lemahnya penegakan hukum.
Regulasi untuk melarang dan menghukum pelaku money politics sering tidak diterapkan secara konsisten. Pelaku money politics sering kali lolos dari jerat hukum, membuat praktik ini terus berulang.
Keempat, sistem politik yang mahal.
Proses pemilu, mulai dari kampanye hingga logistik politik, memerlukan biaya besar. Hal ini mendorong kandidat mencari cara cepat untuk mengamankan suara melalui praktik-praktik yang tidak etis dan culas. Semua cara ditempuh.
Tidak ada lagi standar moral, yang jelas-jelas punya rekam jejak buruk dan tidak kapabel justru melenggang dengan tenang dan nyaman ke singgasana.
Di sisi lain, sistem pembiayaan politik yang kurang transparan juga berkontribusi pada praktik ini.
Misalnya, berapa yang mesti dibayar oleh calon kepala daerah untuk mendapat dukungan oleh partai?
Atau berapa biaya kampanye tim sukses calon tertentu untuk meloloskan jagoannya?
Lima, kurangnya kesadaran politik masyarakat.
Tidak bisa dipungkiri, rendahnya literasi politik menyebabkan banyak masyarakat kita memilih berdasarkan iming-iming materi, bukan program atau kualitas kandidat.
Mereka tidak mau peduli apakah pemimpin mereka kelak bisa menjadi sandaran hidup jangka panjang atau hanya bermodalkan bagi-bagi proyek untuk sanak saudara, kolega, dan tim sumses. EGP! Begitu pikirannya.
Sebagian besar pemilih menganggap pemberian uang atau barang sebagai keuntungan praktis yang langsung terasa.
Maka, selamat tinggal kampanye dari rumah ke rumah, dari kota ke desa, dari pedalaman hingga puncak gunung.
Keenam, ada persaingan politik yang ketat.
Dalam persaingan yang sangat ketat, kandidat merasa perlu menjamin dukungan pemilih dengan cara instan, termasuk memberikan uang atau barang.
Ketujuh, minimnya alternatif pemantauan dan pengawasan.
Pengawasan terhadap praktik money politics di Sulawesi Selatan sering kali tidak efektif, terutama di daerah terpencil.
Untuk mengisi gap ini diperlukan sumber daya besar dan pelibatan organisasi pemantau yang kuat. Siapa peduli dan mau mengisi gap itu?
Yang terjadi adalah para saksi atau pelapor sering merasa takut melaporkan pelaku karena tidak adanya perlindungan yang memadai di daerah-daerah jauh, pedalaman atau tak punya infrastruktur memadai.
Sesungguhnya, para ahli, penganjur demokrasi dunia bahkan dalam ajaran agama disebutkan bahwa iming-iming uang untuk meluluskan maksud tertentu di ranah publik adalah perbuatan tercela, jahat dan terampuni karena mengkhianati hakikat suara Tuhan.
Pendek kata, money politics merusak integritas proses demokrasi.
Kalau uang masuk dalam politik maka jangan berharap perubahan signifikan untuk perbaikan ke depan, seperti kata Arianna Huffington itu.
Dengan maraknya money politic, maka akan menghasilkan pemimpin yang tak cakap atau tak kompeten, dan dapat memperburuk korupsi di pemerintahan.
Pembaca sekalian, kasus money politic yang terendus dan terciduk di sejumlah titik di Sulawesi Selatan seperti disebutkan di awal, hanya satu dari sekian peristiwa. Ini kenyataan layaknya gunung es yang terlihat hanya pucuknya.
Lalu apa solusinya bagi Sulsel?
Solusi untuk mengurangi praktik ini melibatkan edukasi politik yang terus menerus, reformasi sistem pemilu yang lebih efektif dan berkeadilan sosial, dan yang lebih penting adalah tindakan penegakan hukum yang lebih tegas bagi pelaku, mulai dari akar hingga cabang, ranting, dan buahnya!
Redaksi KarebaDIA
Diperkenankan mengutip sebagian atau keseluruhan informasi dari portal KarebaDIA sepanjang untuk kepentingan publikasi dan sosialisasi agenda politik Danny Pomanto - Azhar Arsyad (DiA).